Rendang.
Kuliner satu ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat
Indonesia. Setelah diakui sebagai makanan paling lezat di dunia,
popularitas rendang di tanah air semakin meningkat. Ketenaran rendang
tak hanya di tanah kelahirannya, Ranah Minang saja, tetapi juga di
pelosok nusantara dan dunia.
Pengakuan makanan terlezat itu terjadi pada tahun
2011 lalu, dimana rendang dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar
World’s 50 Most Delicious Foods (50
Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International. Tentunya
ini menjadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat Indonesia dan khususnya
UrangAwak.
Dibalik ketenaran dan cita rasanya yang lezat itu ternyata rendang
memiliki sejarah panjang dan makna budaya yang terjadi di Ranah Minang.
Ini menandakan betapa rendang menjadi kuliner yang pantas untuk
dibanggakan dan sebuah tradisi yang mengakar hingga sekarang ditatanan
kehidupan masyarakat Minangkabau.
Bagi masyarakat Minang sendiri, rendang sudah ada sejak dahulu dan
telah menjadi masakan tradisi yang dihidangkan dalam berbagai acara adat
dan bahkan hidangan keseharian. Sebagai masakan tradisi, rendang diduga
telah lahir sejak orang Minang menggelar acara adat pertamanya.
Kemudian seni memasak ini berkembang ke kawasan serantau berbudaya
Melayu lainnya; mulai dari Mandailing, Riau, Jambi, hingga ke negeri
seberang di
Negeri Sembilan yang banyak dihuni perantau asal Minangkabau. Karena itulah rendang dikenal luas baik di Sumatera maupun Semenanjung Malaya.
Dalam
www.wikipedia.org , Sejarawan
Universitas Andalas Prof. Gusti Asnan menduga, rendang telah menjadi masakan yang tersebar luas sejak orang Minang mulai merantau dan berlayar ke
Malaka untuk
berdagang pada awal abad ke-16. “Karena perjalanan melewati sungai dan
memakan waktu lama, rendang mungkin menjadi pilihan tepat saat itu
sebagai bekal.” Hal ini karena rendang kering sangat awet, tahan
disimpan hingga berbulan lamanya, sehingga tepat dijadikan bekal kala
merantau atau dalam perjalanan niaga.
Tidak hanya itu, rendang juga disebut dalam kesusastraan Melayu klasik seperti
Hikayat Amir Hamzah yang membuktikan bahwa rendang sudah dikenal dalam seni masakan Melayu sejak 1550-an (pertengahan abad ke-16).
Rendang kian termahsyur dan tersebar luas jauh melampaui wilayah aslinya berkat budaya
merantau suku
Minangkabau. Orang Minang yang pergi merantau selain bekerja sebagai
pegawai atau berniaga, banyak di antara mereka berwirausaha membuka
Rumah Makan Padang di
seantero Nusantara, bahkan meluas ke negara tetangga hingga Eropa dan
Amerika. Rumah makan inilah yang memperkenalkan rendang serta hidangan
Minangkabau lainnya secara meluas.
Begitu juga tradisi yang masih berjalan hingga sekarang di Sumatera
Barat, bagi anggota keluarganya yang merantau biasanya selalu dibekali
rendang untuk memenuhi kebutuhan makanan dalam beberapa bulan. Apalagi
anggota keluarganya yang sedang menuntut ilmu, rendang selalu menghiasi
makanan mereka terutama diawal-awal kedatangan rendang dari keluarganya.
Jika ditelaah, rendang memiliki makna budaya dalam kehidupan
masyarakat Minangkabau, karena rendang mendapatkan posisi terhormat
dalam budaya masyarakatnya. Rendang mempunyai filosofi tersendiri bagi
masyarakat Minang, yaitu
musyawarah dan mufakat, yang berangkat dari empat bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang, yaitu:
Dagiang (daging sapi), merupakan lambang dari “
Niniak Mamak” (para pemimpin Suku adat)
Karambia (kelapa), merupakan lambang “
Cadiak Pandai” (kaum Intelektual)
Lado (cabai), merupakan lambang “Alim Ulama” yang pedas, tegas untuk mengajarkan syariat agama dan
Pemasak (bumbu), merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Dalam tradisi Minangkabau, rendang adalah hidangan yang wajib disajikan dalam setiap perhelatan istimewa, seperti berbagai
upacara adat Minangkabau, kenduri, atau menyambut tamu kehormatan
Sedangkan dalam tradisi
Melayu, baik di
Riau,
Jambi,
Medan atau
Semenanjung Malaya, rendang adalah hidangan istimewa yang dihidangkan dalam kenduri
khitanan,
ulang tahun,
pernikahan,
barzanji, atau perhelatan keagamaan, seperti
Idul Fitri dan
Idul Qurban.
Dilihat dari bentuk rendang yang ada sekarang, masakan yang dibubuhi
santan kelapa dan rempah ini memiliki dua bentuk, rendang kering dan
rendang basah.
Rendang kering adalah rendang sejati dalam tradisi memasak Minang.
Rendang jenis ini dimasak dalam waktu berjam-jam lamanya hingga santan
mengering dan bumbu terserap sempurna. Rendang kering dihidangkan untuk
perhelatan istimewa, seperti upacara adat, kenduri, atau menyambut tamu
kehormatan. Rendang ini biasanya berwarna lebih gelap agak coklat
kehitaman. Jika dimasak dengan tepat, rendang kering dapat tahan
disimpan dalam suhu ruangan selama tiga sampai empat minggu, bahkan
dapat bertahan hingga lebih dari sebulan jika disimpan di kulkas, dan
enam bulan jika dibekukan. Beberapa kalangan berpendapat bahwa citarasa
rendang asli Minang adalah yang paling lezat dan tiada dua — jauh
berbeda dengan rendang di sejumlah kawasan Melayu lainnya.
Sementara rendang basah, atau lebih tepatnya disebut
kalio,
adalah rendang yang dimasak dalam waktu yang lebih singkat, santan belum
begitu mengering sempurna, dan dalam suhu ruangan hanya dapat bertahan
dalam waktu kurang dari satu minggu. Rendang basah berwarna coklat
terang keemasan dan lebih pucat.
Reno Andam Sari, pemilik usaha Rendang Uni Farah, dalam wawancaranya di
Kompas.com melihat
sedikitnya ada 15 jenis rendang yang ada di Ranah Minang saat ini,
misalnya rendang daun kayu, rendang tumbuk, rendang belut, rendang
runtiah, rendang lokan, sampai bareh randang. Bahkan ia juga menemukan
rendang sapuluik itam yang terbuat dari tepung ketan hitam yang dimasak
dengan tambahan bumbu rendang.
Ini menandakan betapa kayanya kuliner Rang Minang dalam penyajian
makanan, baik dikonsumsi untuk anggota keluarganya, maupun disajikan
dalam upacara adat atau penyambutan tamu. Terbukti, dari satu nama
rendang saja, masyarakat Minangkabau dapat melahirkan 15 jenis rendang
dengan citarasa yang berbeda. (Adrial:
Diambil dari berbagai sumber)
Read more :
http://www.indonesia-heritage.net